Aku dan Baju Kuning Itu

 

Short story by Fey Hanindya 




Pagi yang cerah dengan pancaran sinar matahari yang menghangatkan bumi membuat banyak orang ingin menikmati alam. Aku mengenakan baju hadiah ulang tahun dari ibuku yang berwarna kuning, warna kesukaanku. Ah, pagi yang cerah membuat hatiku senang.

Minggu pagi adalah waktu yang tepat untuk jalan-jalan ke taman menikmati indahnya bunga-bunga bermekaran.

"Anakku... jangan tinggalin Ibu, Nak. Ibu rindu sekali sama kamu." Seorang ibu-ibu dengan rambut beruban hampir diseluruh kepalanya tiba-tiba memelukku dari belakang. 

"Maaf Bu, saya bukan anak Ibu." Jawabku pelan menjelaskan. Bagaimana tidak, Ibuku sedang mencuci baju di rumah, atau... jangan-jangan selama ini aku anak pungut Ibuku?.

Pikiran aneh itu segera kusingkirkan. Dari kejauhan datang seorang lelaki, mungkin umurnya hampir 30 tahun. Badannya tinggi dan bagus, sepertinya ia sering berolahraga dan hidup teratur. Sekilas kau melirik ke perut buncitku. Hmmmmm

"Maaf mbak, ibu saya mengalami gangguan kejiwaan karena kepergian adik saya, Dina beberapa tahun lalu. Setiap perempuan yang mengenakan baju kuning akan dipeluk dan dianggap sebagai anaknya. Sekali lagi maaafkan ibu saya ya Mbak." Lelaki yang memiliki wajah dan mata yang tegas itu menjelaskan kondisi ibunya dan pergi menjauh dariku.

***

"Ibu gak mau makan. Ibu mau sama Dina. Panggilin Dina buat Ibu." Disebuah kursi dibawah pohon rindang lelaki itu terus membujuk Ibunya untuk makan, namun tak sesuap nasi pun masuk kemulut sang ibu.

Aku melihat lelaki itu berjalan menuju ke arahku.

"Mbak, kalau tidak keberatan saya ingin meminta tolong sekali saja. Ibu saya tidak mau makan kecuali sama Dina. Mbak yang dianggap Dina tadi, boleh tidak mbak menemani Ibu saya makan sebentar saja."

Aku kasihan melihat kondisi si Ibu yang terus berfikir bahwa anaknya masih hidp dan tidak mau menerima kenyataan. Aku mendekati si Ibu dan perlahan menyuapinya dengan obrolan-obrolan kecil.

Aku tidak menyangka kalau dimulai dari situ, aku mulai dekat dengan sang Ibu karena menganggapku anaknya dan tidka melepaskanku. Sebenarnya aku tidak masalah, aku senang dengan Bu Ani yang baik dan tidak berulah, tapi aku tidak enak dengan anak laki-lakinya yang dirumah. Pacarnya juga tidak menyukaiku. Padahal aku sama sekali tidak menaruh perasaan pada Mas Abdi, kenapa pacarnya harus cemburu padaku.

***

Malam Jumat yang hening, ah... damainya malam ini dengan semilir angin yang berhembus. Tiba-tiba sebuah Avanza hitam memasuki pekarangan rumahku.

"Apakah itu teman ayah? tapi aku seperti tidak asing lagi dengan mobil itu." Aku membatin dalam hati.

Sesosok lelaki tinggi dengan paras tegas keluar bersama seorang Ibu keluar dari sana. Bu Ani dan Mas Abdi. Ada perlu apa ya mereka datang keruma? pertanyaan-pertanyaan mulai muncul dari pikiran-pikiran.

Ya, itulah awal mula kehidupan baruku dimulai. Aku tak menangka Mas Abdi datang melamarku, bagaimana dengan pacarnya? aku akan dilabraknya nanti. Entahlah...

Aku benar-benar tidak pernah menaruh perasaan apa-apa padanya, hanya sekedar mengagumi paras tampannya saja. Lamaran itu kuterima, toh cinta akan tumbuh seiring waktu kan?. Aku memang tak salah pilih, kehidupan rumah tanggaku sangat harmonis karena sikap Mas Abdi yang begitu baik dan penyayang.

Oh baju kuning, kisahku berawal karenamu. Kamu menjadi baju favoritku sekarang dan selamanya.



sumber gambar di sini. 

Posting Komentar

0 Komentar